Senin, 07 November 2011

MATERI GELAP ALAM SEMESTA MULAI TERUNGKAP

Problem mulai diajukan pada tahun 1933. Ketika itu bibit-bibit Perang Dunia II sedang disemaikan oleh Nazi di Jerman dan Fasis di Italia. Namun Fritz Zwicky, seorang astronom dari Swiss, bisa mengundurkan diri dari kegerahan zaman untuk mempelajari pergerakan galaksi-galaksi yang jauh. Untuk itu, Zwicky mengukur total massa sekelompok galaksi dengan cara mengukur kecerahannya.

Ketika menggunakan metode lain untuk menghitung massa kelompok galaksi tersebut, tentu dengan maksud verifikasi, hasil perhitungan Zwicky 400 kali lebih besar daripada perkiraan awalnya. Selisih antara massa yang teramati dan massa yang terhitung ini kemudian dikenal sebagai "problem massa yang hilang" ( the missing mass problem).


Tidak ada yang menindaklanjuti temuan Zwicky - mungkin karena ilmuwan pada masa itu disibukkan oleh proyek-proyek militer yang didukung oleh pemerintah negara-negara besar. Baru pada dekade 1970-an para ilmuwan menyadari pengamatan mereka terhadap alam semesta bisa dijelaskan dengan lebih mudah dengan temuan Zwicky itu: ada sejumlah besar - sangat besar - massa yang tersembunyi di alam semesta ini.

Massa yang tersembunyi itu sekaligus menambah kokoh pelbagai teori yang ada tentang struktur alam semesta. Kini, ilmuwan mencari dan meneliti "materi gelap" yang tersembunyi itu bukan hanya untuk menerangkan tentang pergerakan pelbagai galaksi yang disebabkan oleh gaya gravitasi (rotational motion), tetapi juga untuk memperkuat teori-teori terkini tentang asal mula dan masa depan alam semesta.


Menentukan Massa Galaksi
Bagi orang awam, massa adalah berat. Tetapi bagi ilmuwan, massa dan berat adalah dua hal yang berbeda. Massa adalah ukuran kuantitas materi - jumlah materi. Sementara itu, berat adalah pengaruh gravitasi atas materi yang punya massa tersebut.

Berat tergantung pada massa. Jika massa suatu benda semakin besar, maka semakin besar pula pengaruh gravitasi terhadap benda itu dan benda itu pun menjadi semakin berat. Ketika seorang astronot mengapung di luar angkasa, dia dianggap nir-berat/tak punya berat (weightless). Tetapi sang astronot masih punya badan. Oleh karena itu dia masih punya massa.

Ilmuwan memperkirakan, sekitar 90 hingga 99% dari massa keseluruhan alam semesta adalah materi yang hilang (missing matter). Sebenarnya, "materi yang hilang" agak menyesatkan - yang benar-benar tidak ada adalah cahaya. Ilmuwan menegaskan bahwa materi gelap atau materi yang hilang itu memang ada tetapi kita tidak bisa melihatnya.

Bruce H. Margon, kepala jurusan astronomi di University of Washington, mengatakan, "Situasi yang memalukan. Kita harus mengakui bahwa kita tidak bisa menemukan 90% dari alam semesta. Porsi 90% itu hanya bisa diduga. Alam semesta menyembunyikan sebagian besar materi alam ini dalam bentuk yang tak bisa dilihat."

Lantas, bagaimana ilmuwan bisa sampai pada angka 90% itu? Bukankah batas-batas alam semesta (jika memang ada) juga tidak (atau "belum?") diketahui? Bukankah dengan demikian massa alam semesta yang sebenarnya juga tidak diketahui?

Chris Miller menegaskan: ilmuwan bicara tentang persentase, bukan angka atau jumlah yang sebenarnya. Karena sebagian besar dari materi yang bisa kita lihat berhimpun menjadi galaksi, maka total massa semua galaksi seharusnya bisa menjadi menjadi petunjuk yang cukup akurat untuk menentukan massa alam semesta.

Memang, ilmuwan tidak mungkin bisa menjumlahkan galaksi-galaksi yang jumlahnya tak berhingga itu. Namun, ilmuwan bisa menyimpulkan persentase massa alam semesta yang hilang itu dari perkiraan berapa jumlah massa yang hilang pada galaksi dan kelompok-kelompok galaksi yang ada.

Lagipula, ilmuwan juga telah menemukan metode untuk mengukur massa pelbagai galaksi sehingga mereka, secara tidak langsung, bisa memperkirakan massa atau jumlah materi materi yang tidak bisa dilihat. Metode tersebut adalah Pergeseran Doppler (Doppler Shift), Percepatan Rotasional (Rotational Velocity), dan Menatap Cahaya (Seeing the Light).


Pergeseran Doppler
Pada tahun 1800-an, Christian Doppler menyatakan bahwa suara bergerak sama dengan gerakan gelombang di laut. Ketika sumber suara bergerak, pitch suara juga berbeda, tergantung pada jarak antara sumber suara dan pendengar. Misalnya, ketika kereta api bergerak mendekati seorang pendengar, gelombang suara dari klaksonnya memampat (merapat) disebabkan oleh gerakan kereta. Ketika kereta menjauh, gelombang suara klakson kereta kembali renggang dan suaranya menjadi lebih pelan.

Pergeseran Doppler juga bisa diterapkan untuk cahaya. Ketika sebuah sumber cahaya bergerak mendekati kita, warna cahaya itu tampak menjadi lebih biru (disebut blue shift). Jika sumber cahaya itu menjauh, maka warnanya menjadi lebih merah (disebut red shift). Semakin cepat sebuah sumber cahaya bergerak, semakin cepat pula perubahan warnanya.

Namun, pergeseran Doppler sangat subtil dan tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Ilmuwan menggunakan sebuah instrumen bernama spektroskop (spectroscope) untuk mengukur pergeseran Doppler dan menentukan seberapa cepat bintang-bintang dan pelbagai galaksi bergerak.

Percepatan Rotasional
Berdasarkan pergeseran Doppler, ilmuwan bisa mempelajari banyak hal tentang alam semesta. Ilmuwan bisa mengetahui bahwa galaksi berotasi. Karena, ketika dilihat dari salah satu sisinya, warna cahaya pada sisi itu berubah menjadi biru dan warna cahaya dari sisi yang jauh berubah menjadi merah. Artinya, salah satu sisi galaksi bergerak mendekati kita yang ada di Bumi, sementara sisi yang lain bergerak menjauh.

Ilmuwan selanjutnya bisa menentukan kecepatan rotasi galaksi dengan menghitung seberapa besar perubahan cahaya-cahaya itu. Setelah mengetahui kecepatan rotasi galaksi, ilmuwan bisa menghitung massa (jumlah materi) galaksi tersebut secara matematis.

Ketika ilmuwan mencermati kecepatan rotasi galaksi, mereka menemukan keganjilan. Bintang-bintang dalam sebuah galaksi seharusnya bergerak seperti planet-planet dalam tata surya kita - semakin jauh dari pusat, semakin lambat gerakannya. Namun, pergeseran Doppler justru memperlihatkan bahwa banyak bintang, di pelbagai galaksi, yang tidak bergerak semakin lambat walaupun jaraknya jauh dari pusat galaksi.

Dan yang paling membingungkan, bintang-bintang yang jauh dari pusat itu bergerak dengan kecepatan yang seharusnya bisa membuyarkan struktur galaksi. Tidak ada massa, yang bisa diamati dan diukur, yang bisa memancarkan daya gravitasi yang dibutuhkan agar galaksi tidak buyar.

Kecepatan rotasional galaksi yang sangat tinggi ini menyiratkan bahwa galaksi mengandung lebih banyak massa daripada yang telah diamati dan dihitung. Sebagian ilmuwan mengajukan teori: jika sebuah galaksi dikelilingi oleh halo (lingkaran) materi yang tak kasat mata, maka galaksi tersebut tetap akan stabil walaupun kecepatan rotasionalnya sangat tinggi.

Menatap Cahaya
Metode lain yang digunakan untuk mengukur massa galaksi (atau himpunan galaksi) adalah dengan mengukur seberapa banyak cahaya dari galaksi tersebut yang sampai ke Bumi. Dengan mengukur jumlah cahaya itu, ilmuwan bisa memperkirakan jumlah bintang di dalam galaksi tersebut. Setelah mengetahui jumlah bintang di dalam galaksi, selanjutnya ilmuwan bisa menentukan massa galaksi itu - secara matematis.

Lima puluh tahun silam, Fritz Wicky menggunakan metode-metode di atas untuk menentukan massa sebuah himpunan galaksi bernama Coma. Ketika ia membandingkan datanya, ia menjumpai "the missing mass problem" itu. Kecepatan rotasional yang sangat tinggi dan menyiratkan adanya sebuah lingkaran bermassa besar, yang memiliki daya gravitasi tinggi, juga memperkuat temuan Wicky.

Data Wickymenunjukkan, hanya 10% saja dari apa yang kita sebut sebagai alam semesta ini memiliki wujud berupa materi yang bisa kita lihat. Kini, ilmuwan berlomba-lomba mencari "materi gelap" yang tak kelihatan itu - 90% alam semesta. Tentu saja persentase ini relatif dan pengukuran lain mengajukan angka yang berbeda. Misalnya, space.com mengajukan 74% energi gelap, 22% materi gelap, dan 4% materi "normal", sementara dailygalaxy.com mengajukan 70% energi gelap, 25% materi gelap, dan 5% materi normal.